WWF melaksanakan studi populasi dan distribusi harimau Sumatera khususnya di lanskap Tesso Nilo- Bukit Tigapuluh. Sejak tahun 2005, WWF-Indonesia bekerjasama dengan Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam melakukan studi ini dengan menggunakan camera trap (kamera otomatis). Kamera bersensor panas ini, secara otomatis akan merekam satwa yang melintas di dalam radius tertentu. Foto-foto dan rekaman video yang dihasilkan dari camera trap ini akan dianalisa terutama harimau Sumatera. Hingga kini (pertengahan 2014), dari ratusan foto harimau yang dihasilkan, tim telah berhasil mengidentifikasi sedikitnya 50 individu harimau Sumatera di lanskap tersebut.
Dimana Kami Bekerja?
Kami bekerja di lanskap Tesso Nilo-Bukit Tigapuluh yakni suatu hamparan kawasan yang terdiri dari lima kawasan konservasi yang diharapkan dapat terhubung satu sama lainnya untuk mendukung perkembangbiakan populasi harimau Sumatera. Lanskap dengan luas kurang lebih 20.000 km2 ini berada di wilayah Riau bagian Selatan. Wilayah ini merupakan bagian dari kawasan penting konservasi harimau dunia (Tiger Conservation Landscape). Sebagian kawasan ini merupakan bagian dari empat juta hektar “Koridor Rimba” yang membentang luas di tiga provisni yakni Provinsi Riau, Jambi dan Sumatera Barat yang dirancang sebagai satu dari lima kawasan percontohan perencanaan tata ruang berbasis ekosistem yang ditetapkan oleh Surat Keputusan Presiden No. 13 Tahun 2012.
Ancaman Terhadap Harimau Sumatera
Dalam dua puluh lima tahun terakhir, Riau mengalami kehilangan tutupan hutan seluas 4 juta ha atau sekitar 65% dari hutan alam yang dimiliki Provinsi Riau. Hilangnya hutan alam ini memicu konflik dengan satwa liar diantaranya konflik manusia-harimau. Konflik ini sering berakibat terhadap kematian harimau karena penanganan konflik yang salah. Situasi konflik juga sering dimanfaatkan oleh jaringan pemburu untuk mendapatkan harimau atau bagian-bagian tubuh harimau.
Kharisma harimau Sumatera membuat banyak orang menginginkan satwa ini atau bagian-bagian tubuhnya sehingga perburuan dan perdagangan harimau Sumatera atau bagian tubuhnya untuk memenuhi permintaan tersebut terus berlangsung. Monitoring kami menemukan bahwa pemburu potensial terdapat dan tersebar di tingkat desa dan kecamatan sementara perantara dan pengumpul satwa dilindungi atau bagian-bagian tubuhnya tersebar di tingkat kabupaten. Pemburu yang notabenenya adalah masyarakat lokal yang memiliki keahlian tertentu dalam berburu harimau Sumatera berusaha memenuhi permintaan akan satwa ini atau bagian-bagian tubuhnya.
Letak strategis Provinsi Riau yang memiliki akses langsung dengan negara tetangga menyebabkan kawasan ini juga menjadi salah satu jalur yang digunakan dalam jaringan perdagangan harimau Sumatera atau satwa lindung lainnya. Jalur yang digunakaan baik darat dan perairan yang memiliki banyak akses menjadi satu titik lemah dalam pengawasan sehingga memudahkan lalu lintas perdagangan satwa dilindungi ini.
Perburuan dan perdagangan harimau adalah faktor penyebab kematian harimau Sumatera selain konflik akibat semakin menyempitnya habitat alami harimau. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurangai ancaman tersebut seperti penegakan hukum terhadap perburuan dan perdagangan harimau Sumatera dan perlindungan kawasan yang menjadi habitat harimau. Namun kematian harimau Sumatera tetap terjadi, dalam kurun waktu lima tahun terakhir, rata-rata kematian harimau Sumatera baik karena konflik dan perburuan konflik adalah 2-3 individu/ tahun.
Hampir 75% habitat harimau Sumatera berada di luar kawasan konservasi ataupun hutan lindung. Kondisi ini juga menyebabkan semakin tingginya ancaman terjadinya konflik dengan manusia karena kawasan tersebut berupa perkebunan sawit atau pun Hutan Tanaman Industri dimana terjadi penggunaan ruang yang sama antara manusia dan harimau. Praktek-praktek pengelolaan yang lebih baik di kawasan ini oleh pemegang konsesi atau pemiliki kebun menjadi hal yang harus dilakukan guna mengurangi terjadinya konflik manusia-harimau.
Upaya yang Kami Lakukan
Bekerjasama dengan Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam kami telah melakukan penelitian mengenai populasi dan distribusi harimau Sumatera sejak tahun 2005. Proses monitoring satwa top predator ini melewati beberapa tahapan diantaranya survei mengenai kondisi lapangan menggunakan pendekatan garis transek dengan pendekatan metode patch occupancy (petakan hunian). Hasil survai ini digunakan untuk mengetahui tingkat hunian harimau serta satwa mangsanya. Berdasarkan survei transek, kemudian dilakukan riset menggunakan pendekatan protokol Capture-Mark-Recapture (CMR) atau Tangkap-Tandai-Tangkap Ulang, yaitu protokol yang digunakan untuk mengetahui perkiraan populasi dan kepadatan satwa liar dengan perhitungan berdasarkan individu dan intensitas terhitungnya.
Hingga pertengahan 2014, dari ratusan foto harimau yang dihasilkan oleh camera trap (kamera jebak), tim telah berhasil mengidentifikasi harimau sebanyak 55 individu harimau Sumatera. Dari empat kawasan konservasi yang telah kami survei yakni Taman Nasional Tesso Nilo, Suaka Margsatwa Bukit Rimbang Bukit Baling, Cagar Alam Bukit Bungkuk, Suaka Margasatwa Kerumutan, kami menemukan Tesso Nilo memiliki kepadatan populasi dan jumlah populasi tertinggi yakni 6-7 populasi harimau.
Kami juga melakukan survei pada kawasan yang menghubungkan kawasan-kawasan konservasi tersebut seperti halnya koridor yang menghubungkan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Koridor ini sebagian merupakan Hutan Lindung Bukit Batabuh dan sebagian telah menjadi perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri. Ketersambungan antara habitat memberikan daerah jelajah yang lebih luas sehingga memungkinkan untuk perkembang biakan populasi harimau Sumatera.
Untuk meminimalkan ancaman terhadap keberadaan harimau Sumatera baik karena perburuan atau konflik, WWF bekerjasama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Riau mengoperasikan Tiger Protection Unit atau Tim Perlindungan Harimau sejak 2004. Tim yang juga terdiri dari komponen masyarakat lokal bertugas melakukan pengamanan kawasan habitat harimau Sumatera terutama di dalam wilayah Tesso Nilo-Bukit Tigapuluh Lanskap. Tim mengumpulkan data mengenai ancaman seperti pembalakan liar, perambahan, perburuan harimau dan mangsanya dan satwa dilindungi lainnya.Data-data yang dikumpulkan disampaikan kepada instansi terkait untuk dapat ditindaklanjuti.
Patroli perlindungan harimau ini dilakukan dengan sistematis SMART patrol system. Sistem ini memaksimalkan dan memanfaatkan kekuatan informasi dan juga meningkatkan upaya penegakan hukum. Data yang dikumpulkan oleh tim patroli akan dianalisa berdasarkan database sehingga menghasilkan suatu laporan standar yang dapat memudahkan bagi pengelola kawasan untuk memahaminya. Selain menjalankan tugas utamanya mendapatkan informasi berkenaan dengan ancaman terhadap harimau dan habitatnya, Tiger Protection Unit juga memberikan sosialisasi pentingnya perlindungan harimau Sumatera kepada masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah habitat harimau.
Masyarakat juga memiliki peranan penting dalam upaya konservasi harimau Sumatera, untuk itu WWF jug melakukan berbagai kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Kegiatan ini dilakukan dalam berbagai bentuk kampanye dan sosialisasi yang menarget berbagai lapisan target audiens di antaranya siswa sekolah, masyarakat yang tinggal di sekitar habitat harimau bahkan penegak hukum terkait. Dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap konservasi harimau diharapkan dapat mengurangi tekanan terhadap harimau sehingga harimau Sumatera dapat lestari tidak punah seperti dua sub spesies harimau lainnya yang pernah dimiliki Indonesia yakni harimau Jawa dan Bali.