Ringkasan
Pendapat Hukum Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Pelalawan dan Pengadilan Negeri
Bengkalis Dalam Perkara Pembunuhan Gajah Sumatera.
Oleh: Alhamran Ariawan,S.H, M.H.[1]
A. Kasus Posisi
Dua kasus tindak pidana pembunuhan gajah Sumatera terjadi di dua kabupaten di Riau pada tahun 2015 dan 1 kasus terjadi di Jambi oleh kelompok yang sama. Makalah ini merangkum pendapat hukum dari keputusan yang dibuat oleh Pengadilan Negeri Bengkalis dan Pelalawan.
Di Pengadilan Negeri Bengkalis, 7 orang didakwa dengan pembunuhan gajah Sumatera adalah: Fadly, Ari, Mursid, Ruslan, Ishak, Anwar dan Herdani. Sedangkan di Pengadilan Negeri Pelalawan, 4 orang terdakwa juga merupakan pelaku yang didakwa di Pengadilan Negeri Bengkalis, yaitu: Ari, Ishak, Anwar dan Herdani.
Pada Selasa, 10 Februari 2015 Polda Riau menangkap para pelaku yang diduga sebagai pembunuh gajah Sumatera, mereka diduga sebagai pemburu, 1 investor, 1 ajudan dan 1 orang yang bertindak sebagai sopir yang ditangkap di Rumbai, Pekanbaru. Seiring dengan penangkapan, polisi juga mengamankan dua mobil (Toyota dan Daihatsu Terios Rocky) digunakan untuk operasi, satu senjata api laras panjang dengan enam butir amunisi, berbagai senjata tajam serta sepasang gading berukuran 1,75 meter dan berat 20 kilogram. Penyidik (Reskrimsus) Polda Riau melakukan rekonstruksi di TKP menunjukkan lima tersangka telah melakukan peran masing-masing sebagai eksekutor (penembak), tiga orang memperoleh gading, dan satu surveyor.
Dalam pemeriksaan polisi, tersangka mengaku membunuh gajah dengan memakai senjata api. Sebelum mengambil gading ke kabupaten lain, Sdr. Ari dan Sdr. Herdani, Ishak dan Anwar telah membunuh tiga gajah Sumatera di Desa Segati, Kecamatan Pelalawan, Riau (blok hutan Tesso Nilo). Penyelidikan polisi menemukan tiga bangkai gajah salah satu gajah dewasa dan dua anak gajah jantan. Rupanya, pada 6 Februari, lima tersangka telah mendirikan tenda di sekitar lokasi tetapi tidak mendapatkan target mereka. Keesokan harinya (7 Februari), mereka menembak gajah betina dengan harapan bahwa ini akan menarik gajah lainnya. Hari berikutnya, 8 Februari, tersangka menembak dua anak gajah. Setelah membunuh gajah betina dan mengambil gading dari dua anak gajah jantan sepanjang 50 cm, kemudian diserahkan kepada Sdr. Fadly yang memiliki senjata api dan mendanai operasi. Selain itu, kelompok ini juga melakukan pembunuhan gajah Sumatera dan wilayah hukum Polres Tebo, provinsi Jambi.
B. Konsep Hukum, peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan ini kasus adalah:
-
UU RI No 12 tahun 1951 tentang UU Darurat mengubah ordonantie tdjelike bijzondere strafbepalinge (STBI 1948 Nomor 17 ) dan UU RI dahulu Nomor 8 tahun 1948 tentang mencabut Peraturan Dewan Pertahanan Negara Nomor 14 dan Menetapkan Peraturan Pendaftaran dan pemberian Idjin Pemakaian Senjata Api ;
-
UU RI No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya;
-
KUHP ( Kitab Undang-undang Hukum Pidana );
-
KUHAP ( Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana )
-
Peraturan Pemerintah ( PP ) Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa;
- Serta peraturan terkait lainnya.
C. Vonis Pengadilan
Di Pengadilan Negeri Bengkalis, Sdr. Fadly divonis pidana penjara satu tahun dan denda Rp .3 juta karena terbukti melanggar Pasal 40 ayat 2 dan Pasal 21 ayat 2a dari UU No.5 tahun 1990 (yaitu, tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya), dan Pasal 55 ayat 1 KUHP. 4 terdakwa lainnya didakwa Primer melanggar Pasal 40 ayat 2 juncto Pasal 21 ayat 2a UU No. 5 Tahun 1990; dakwaan subsider melanggar Pasal 40 ayat 2 juncto Pasal 21 ayat 2d, bahwa "barang siapa yang sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1-2), dan pasal 33 ayat 3 dipidana dengan pidana penjara 5 tahun dan denda Rp 100 juta. Dlam Pasal 21 ayat 2 huruf a "Hal yang dilarang untuk (a) menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup".
Di Pengadilan Negeri Pelalawan, terdakwa Ari, bersama Terdakwa lainnya yaitu Sdr. Herdani, Ishak dan Anwar terbukti bersalah "dengan sengaja membunuh satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup sebagaimana dalam dakwaan primer dengan dijatuhi pidana penjara selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dan denda sebesar Rp. 20.000.000.- (dua puluh juta rupiah), subsidair selama 6 (enam) Bulan Kurungan”.
Barang bukti yang disita oleh pengadilan 1 pucuk senapan laras panjang dengan popor kayu terbuat dari kayu berwarna cokelat, 66 butir amunisi dengan kaliber 7,62 X 51 MM, 2 gading dengan panjang masing-masing lebih kurang 40 cm, 2 gading dengan panjang masing-masing lebih kurang 42 cm, 2 gading dengan panjang masing-masing lebih kurang 25 cm, 2 buah selonsong peluru warna emas kekuning kuningan dengan tulisan pada bagian bawah PIN CM 7.62, 1 kendaraan roda 4 merk Daihatsu type Terios F 700 RG TS warna hitam No.Pol BM 1801 QG, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor No.Pol BM 1801 QG atas nama pemilik PT. Agung Concern alamat Komp. Nagka Indah Blok C No.6 P Wonorejo, Marpoyan Damai Pekanbaru dan Menetapkan agar Terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000.- (Lima Ribu Rupiah).
Dalam kasus di Pelalawan, meskipun fakta persidangan dan pengakuan tersangka menunjukkan keterlibatan Sdr. Fadly ini, hakim tidak mempertimbangkan dia sebagai orang yang memiliki hubungan hukum secara langsung baik sebagai pelaku atau peserta.
D. Analisa Hukum
Mencermati putusan majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara a quo pada 2 pengadilan, menunjukkan terjadinya disharmonisasi dan inkonsistensi dalam penerapan hukum pidana khusus oleh majelis hakim. Terdakwa yang diadili secara terpisah (di-split) perlu menjadi perhatian khusus. Pada prinsipnya, menurut hukum acara pidana splitsing kasus adalah hak jaksa, namun dalam prakteknya berpotensi terjadi pelanggaran azas hukum dalam proses pembuktian. Berkas perkara harus disempurnakan sampai jelas pelaku-pelakunya baik plegen, medeplegen, doenpleger, uitlokker. Dalam berkas penyidikan dan Surat dakwaan JPU di persidangan PN Bengkalis menerapkan kepada Sdr Fadly alias Afad Bin Harianto dengan Pasal; 1 UU RI No 12 tahun 1951 tentang mengubah ordonantie tdjelike bijzondere strafbepalinge (STBI 1948 no 17)[1] jun to Pasal 40 ayat 2 jo Pasal 21 ayat 2 huruf a, UU RI No. 5 tahun 1990. Untuk terdakwa lainnya Sdr. Ari dan kawan-kawan diterapkan Pasal 40 ayat 2 jo Pasal 21 ayat 2 huruf a, UU RI No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya.[2] Demikian pula di persidangan PN Pelalawan sebagaimana yang termuat dalam berkas perkara peyidikan dan Surat Dakwaan JPU terhadap Sdr. Ari, Ishak, Herdani dan Anwar. Sementara Sdr. Fadly dalam putusan majelis Hakim PN Pelalawan tidak termasuk dalam putusan. Padahal, dalam berkas perkara penyidikan dan surat dakwaan JPU serta fakta-fakta persidangan dan keterangan saksi baik saksi mahkota maupun saksi verbalisan menunjukkan peran keterlibatan Sdr. Fadly. Dalam berkas perkara telah termuat secara jelas dan terang tentang plegen, medeplegen, doenpleger, uitlokker yang secara sempurna dilihat dari adanya perintah, memberikan fasilitas seperti memberikan senjata api yang digunakan para terdakwa untuk membunuh gajah, menyediakan mobil transportasi, memberikan biaya operasional selama perburuan dan menampung hasil perburuan berupa gading gajah serta menjanjikan kepada para terdakwa akan membayar gading hasil buruan Rp. 4.000.000.- (empat juta rupiah) per kilogram. Namun, meskipun gading hasil buruan sudah diserahkan kepada Sdr. Fadly tapi belum dibayar kepada para terdakwa. Hal ini tidak perlu diragukan lagi terkait motif dan modus operandi tentang peristiwa pidana, perbuatan pidana dan delik pidana serta pertanggungjawaban pidana dalam perkara a quo.
Berdasarkan Pasal 63 KUHP yang merupakan dasar dari concursus idealis dapat diketahui bahwa dalam concursus idealis ini menganut sistem pemidanaan absorbsi atau penyerapan. Dalam absorbsi ini pidana yang dijatuhkan bagi seseorang yang telah melakukan gabungan tindak pidana yaitu hanyalah satu jenis hukuman. Dimana hukuman tersebut seakan-akan menyerap semua hukuman-hukuman yang lain yang diancamkan kepada orang tersebut. Pada umumnya hukuman yang dimaksud adalah hukuman yang terberat di antara hukuman-hukuman lain yang diancamkan. Adanya kesan selama ini bahwa adanya gabungan dalam pidana merupakan ketentuan mengenai ukuran dalam menentukan pidana yang mempunyai kecenderungan dalam pemberatan pidana, namun dalam kenyataannya hakim yang memeriksa dan memutus perkara a quo ini justru hukumannya lebih ringan, walaupun pada awalnya ketentuan pemberatan itu sudah tercantum dalam pasal 18 ayat 2 KUHP, yang berbunyi: Pidana itu boleh dijatuhkan selama-lamanya satu tahun empat bulan dalam hal hukuman melebihi satu tahun, sebab ditambahi karena ada gabungan kejahatan, karena berulang melakukan kejahatan atau karena ketentuan Pasal 52.[3]
Vonis yang sudah dijatuhkan tidak akan memberikan efek jera terhadap pelaku. WWF Sumatera Tengah mencatat kematian gajah Sumatera di Riau dari tahun 2004-2015 berjumlah 151 ekor, padahal populasi Gajah Sumatera yang tersisa berkisar sekitar 1700 ekor. Setidaknya ada 43 kasus kematian tidak wajar gajah Sumatera di Riau yang pelakunya belum berhasil diungkap oleh penegak hukum. Kasus kematian gajah terus berlangsung, tahun 2014 ada 24 ekor gajah liar mati tak wajar. Dari jumlah 24 ekor tersebut, 20 ekor gajah mati di Blok Hutan Tesso Nilo yang merupakan satu di antara kantong gajah di Riau. Sebagai lembaga konservasi, maka WWF Indonesia mendorong dan secara bersama-sama pemerintah dan penegak hukum dalam memberikan perlindungan terhadap gajah Sumatera dan memberikan dukungan dalam melakukan tindakan hukum terhadap para pelaku yang mengancam keselamatan gajah Sumatera dan para pelaku yang melakukan pembunuhan gajah Sumatera serta memberantas mata rantai perdagangan bagian-bagian tubuh gajah Sumatera yang mempunyai nilai ekonomis.
E. Kesimpulan dan Rekomendasi
-
Putusan PN Bengkalis dalam perkara pidana Nomor Perkara: 165/pid.sus/2015/PNBls terdakwa Sdr. Fadly, Ari (Nomor Perkara; PDM 64/Bkls/04/2015 ), Sdr. Mursid dan Ruslan (Nomor Perkara PDM–‐66/Bkls/04/2015), Sdr. Ishak, Anwar dan sdr. Herdani (Nomor Perkara 167/pid.sus/2015/PNBls dan putusan PN Pelalawan Terdakwa Ari dengan Perkara No: 231/PID.SUS/2015/PN PLW serta Terdakwa Sdr. Ishak, Anwar, dan sdr. Herdani dengan Perkara No: 232/PID.SUS/2015/PN PLW dalam perkara a quo dengan menggunakan senjata api hanya berdasarkan ketentuan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;
- Bahwa terhadap kepemilikan dan penggunaan senjata api tanpa ijin dalam perkara a quo berdasarkan ketentuan UU No. 12 tahun 1951 tentang UU Darurat belum ada putusan hakim (Inkracht van gewijsde) terhadap pelaku, sehingga memungkinkan untuk dibuka kembali dalam kasus pembunuhan gajah Sumatera yang terjadi diwilayah hukum POLDA Jambi dan mengabaikan asas ne bis in idem (yaitu, pelaku yang sudah di vonis dalam sebuah perkara tidak bisa di adili dua kali).
[1]. Pemangku Jabatan Policy and Enforcement WWF Sumatera Tengah.
[2]. Pasal 1 (1) Barang siapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun.
[3]. Pasal 40 ayat (2) Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1-2) dan pasal 33 ayat 3 dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun dan denda Rp. 100.000.000,00 (Seratus juta rupiah) dan Pasal 21 ayat 2 huruf a; Setiap orang dilarang untuk (ayat 2) a. Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup.
[4]. Abdul Qadir Audah, Al Tasyri’ …, hlm. 745.