PEKANBARU: Punahnya hutan membuat sejumlah suku pedalaman di Riau semakin kehilangan identitas. Mereka yang biasa hidup di hutan kini mulai berpikir untuk menetap dan meninggalkan hidup berburu dan berpindah pindah.
Sejumlah suku pedalaman yang mulai berpikir untuk hidup menetap di antaranya yakni Kubu Bangko, Kubu Karambia serta Anak Dalam. Mereka ini kaum pedalaman yang biasa menjadikan hutan sebagai rumah tempat mencari makan dan hidup.
Sardi, 20, salah seorang suku Anak Dalam mengatakan kaumnya tidak bisa lagi bergantung pada hutan. “Kami tidak bisa lagi terus terusan berburu babi atau labi labi, mencari jernang ataupun rotan karena memang hutan itu tidak ada. Sudah berubah menjadi perkebunan sawit dan kampung,” ujarnya saat ditemui di Desa Baru Ibul, Kecamatan Pucuk Rantau, Kabupaten Kuantan Singingi, Riau.
Sardi dan rombongannya sebenarnya berasal dari Ngalau Baru, Kabupaten Bangko, Jambi. Sudah dua pekan Sardi meninggalkan kampong halamannya untuk berburu. Hasil berburu ini yang akan ditabungnya. Jika nanti sudah cukup banyak, lanjut Sardi akan digunakannya untuk menyiapkan perkebunan karet di kampungnya.
“Kalau terkumpul agak Rp5 juta saya dan istri pulang. Kami gunakan untuk menyiapkan lahan, beli bibit karet, pupuk. Kalau sudah habis duitnya, kami berburu lagi,” ungkapnya.
Pekerjaan berburu menggunakan senapan angin rakit yang biasa disebut kejepit ini pun lanjut Sardi tidak bisa dijadikan penopang hidup. Hewan buruan katanya semakin hari semakin berkurang karena hutan sudah musnah.
“Kalau sudah siap kebun karet saya sekitar sembilan hektar, saya berhenti berburu. Hidup berkebun dan menetap saja,” ujarnya.
Keinginan menetap dan meninggalkan hidup berpindah pindah dari rimba ke rimba juga akan dilakukan suku pedalaman Kubu Bangko.
Kaum adat di Desa Koto Lubuk Ramo, Kecamatan Kuantan Mudik, Kuantan Singingi, berencana meminjamkan sekitar 100 hektare hutan ulayat mereka untuk bisa digunakan suku Kubu Bangko menetap dan berkebun.
Hidayatullah, 26, tokoh pemuda Koto Lubuk Ramo mengatakan sejak setahun terakhir mendampingi orang Kubu Bangko, banyak keluhan dari kaum pedalaman tersebut soal belantara yang semakin menciut.
“Mereka semakin terjepit. Tak ada lagi tempat mereka berlindung karena hutan dah banyak yang dibabat habis berubah menjadi kebun,” ungkap pria yang akrab disapa Dayat ini.
Dayat sendiri biasa mendampingi suku Kubu Bangko rombongannya Amiruddin atau biasa disapa pak Camat dengan jumlah anggota sekitar 20 orang. Ia juga mendampingi sekitar 50 orang romobongan Tumenggung. Kedua kelompok Kubu Bangko ini biasa nomaden di dalam kawasan koridor Rimba, Hutan Lindung Bukit Betabuh hingga Taman Nasional Bukit Tigapuluh.
Pendampingan ini dilakukan Dayat untuk mulai mengajarkan kepada anak anak kaum Kubu Bangko untuk mengenal membaca dan berhitung. Apalagi ketika hutan sudah habis, lambat laun mereka akan menjelajah di perkampungan warga sehingga butuh pembauran.
Dayat pun kini sedang mengembangkan tanaman jernang. Ia mengajak rombongan pak Camat dan Temenggung untuk mengumpulkan benih jernang di dalam hutan. Benih yang didapat itu kemudian ia semai di kampungnya.
“Alhamdulillah, sudah terkumpul sekitar 60 benih. Mudah mudahan bisa berkembang menjadi bibit. Nantinya bibit ini akan kita tanam di kawasan hutan ulayat yang dipinjamkan untuk kaum Kubu bermukim,” ungkapnya.
Tumbuhan jernang ini coba dikembangkan karena sudah sulit ditemukan di dalam hutan. Apalagi dengan kondisi hutan yang sudah banyak rusak. Selain itu, pengembangan jernang dipilih karena nilai jualnya yang luar biasa mahal. Per kilogramnya dapat mencapai harga Rp1,5 juta. “Mudah mudahan jernang ini bisa menjadi penghasilan utama orang Kubu ketika mereka menetap nanti,” ungkapnya.
Penulis : Bagus Himawan