(SIARAN PERS) Jakarta, 17 September 2019 – WWF-Indonesia menggelar diskusi bersama jurnalis bertajuk “Indonesia Darurat Karhutla dan Upaya Penyelamatan Hutan yang Tersisa”. Kegiatan ini diselenggarakan untuk mengkritisi meningkatnya kejadian bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di sejumlah wilayah di Indonesia hingga September 2019. Status ‘Indonesia Darurat Karhutla’ sudah harus dinyatakan mengingat dampak bencana ini sudah menyebabkan kerugian nyata bagi rakyat dan bangsa Indonesia. Kerugian tersebut adalah gangguan kesehatan terutama inspeksi saluran pernafasan atas; sosial yaitu hilangnya hutan sebagai sumber mata pencarian, penghidupan dan identitas masyarakat adat; ekologi yaitu hilangnya habitat tempat keanekaragaman hayati flora dan fauna berada dan rusaknya ekosistem penting yang memberikan jasa lingkungan berupa udara dan air bersih juga makanan dan obat-obatan; ekonomi yaitu berkurangnya sumber devisa negara dari produk hutan kayu dan non-kayu, juga ekowisata; hingga reputasi yaitu Indonesia menuai protes karena asap berhembus jauh sampai negara tetangga.
Hadir pada kegiatan diskusi ini Lukas Adhyakso, Direktur Konservasi WWF-Indonesia; Dody Rukman, Direktur Utama PT Alam Bukit Tigapuluh (PT. ABT), Aditya Bayunanda, Direktur Policy & Advocacy WWF-Indonesia yang juga Komisaris PT ABT, Tri Agung Rooswiadji, Team Leader Program Rimbang Baling Sumatera dan Hutan Lindung Gambut Londerang; dan Hariwung, Kepala Desa Sebangau Mulya, Kab. Pulang Pisau, Kalimantan Tengah (telewicara).
Hingga saat ini, upaya pemadaman karhutla yang dipimpin oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) beserta tim gabungan yang terdiri dari BNPB, BPBD, Polisi, TNI, masyarakat, dan LSM terus digalakkan. Berdasarkan data KLHK melalui SiPongi Karhutla Monitoring System, rekapitulasi luas karhutla di tahun 2019 mencapai 328,722 Ha, yang jika tanpa dukungan dan inovasi penanganan, karhutla tahun ini bisa menjadi sama buruknya dengan tahun sebelumnya yaitu seluas 510,564.21 Ha.
Penyebab karhutla cukup kompleks, tidak hanya pengaruh cuaca, kondisi alam, serta lemahnya pengawasan, namun juga ulah manusia baik korporasi maupun individu. Alasan yang paling dominan adalah mencari keuntungan komersial melalui praktik pembukaan lahan yang masih menggunakan metode pembakaran karena dianggap lebih mudah dan murah.
Sejalan dengan hal tersebut, Direktur Utama PT ABT Dody Rukman turut berbagi tantangan dalam penanganan karhutla di area konsesi yang berada di daerah penyangga Bukit Tigapuluh, Jambi. Dody menjelaskan pada lokasi ini, karhutla terindikasi disebabkan adanya perambahan hutan dan pembukaan lahan illegal oleh sekelompok oknum yang terorganisir. Pada kesempatan ini, Dody juga sekaligus meluruskan pemberitaan di media massa yang menyatakan bahwa KLHK telah mencabut izin PT. ABT atas kelalaian menjaga area konsesi dari karhutla. PT. ABT merupakan perusahaan Restorasi Ekosistem (RE) yang keberadaannya ditujukan untuk menjaga kawasan hutan yang tersisa dan melindungi spesies yang terancam punah serta membangun kemitraan dengan komunitas lokal di hutan Bukit Tigapuluh sejak Juli 2015. PT. ABT didirikan bukan untuk keuntungan finansial bagi pemegang saham namun untuk tujuan melindungi kepentingan umum berupa konservasi area yang menjadi rumah bagi masyarakat termasuk Suku Anak Dalam dan rumah bagi Harimau dan Gajah Sumatera.
“PT ABT mengapresiasi skema co-management yaitu pengelolaan bersama yang lebih berpihak pada masyarakat. Serupa dengan perhutanan sosial, hutan adat, hutan desa dan lainnya, tujuan konsesi Restorasi Ekosistem mendukung pembangunan berkelanjutan yang menguntungkan bagi alam dan manusia. Ketika mendengar kabar area konsesi RE PT. ABT dilakukan penyegelan, kita semua terkejut. Sampai sekarang kita belum/tidak pernah menerima pengumuman resmi terkait langkah penyegelan oleh pemerintah tersebut. Berdasarkan hasil koordinasi dan verifikasi Tim Penegakkan Hukum (Gakkum) KLHK terhadap laporan kebakaran di area konsesi PT. ABT, pada 13 September 2019 dilakukan pemasangan garis pita Pembatas Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS Line). Tujuannya untuk mengamankan kawasan tersebut guna kebutuhan penyelidikan dan penyidikan, namun bukan penyegelan terhadap operasional PT. ABT. Hal ini tentu saja kami respon positif supaya kita mengetahui penyebab utama, motif, dan pelaku kebakaran hutan dan lahan yang sebenarnya,” tutup Dody.
– SELESAI-
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan menghubungi:
• Karina Lestiarsi, Media Relation Specialist WWF-Indonesia | Email: Klestiarsi@wwf.id | Hp : +62 852-181-616-83