Provinsi Riau menjadi tempat strategis terjadinya aktivitas perburuan dan perdagangan satwa liar. Letak geografis yang diapit oleh beberapa negara tetangga, membuat Riau berpotensi menjadi jalur mudah untuk para penyelundup melakukan aksi perburuan dan perdagangan. Namun banyaknya kasus perdagangan dan perburuan satwa yang ditemukan, tidak sebanding dengan upaya hukum untuk menahan laju kematian satwa akibat perburuan dan perdagangan tersebut.
Potensi satwa Riau yang terus dijaga diantaranya Harimau Sumatera, Gajah Sumatera, orang utan, burung dan berbagai jenis primata lainya. Kecenderungan akan terjadinya kepunahan terhadap hewan-hewan ini terlihat dari banyaknya aktivitas perburuan untuk diperdagangakan bagian tubuhnya yang terus berlangsung hingga saat ini.
Pada tahun 2010 lalu petugas melakukan penyitaan terhadap pelaku perdagangan satwa berupa lima lembar kulit harimau. Pelaku merupakan kurir sementara bos besarnya sendiri hingga saat ini masih masuk Daftar Pencarian Orang (DPO). Berdasarkan pengakuan pelaku, kulit harimau ini nantinya akan dijual ke negera Malaysia. Kasus ini mengindikasikan bahwa perdagangan ilegal satwa liar memiliki jaringan yang luas, hingga keluar negeri, serta melibatkan banyak pihak.
Aktivitas perdagangan satwa dibeberapa tempat juga berlangsung secara bebas dan terbuka. Misalnya penjual batu cincin yang banyak ditemukan dipinggir-pinggir jalan, obat dari bagian tubuh satwa yang dijual di jalan dan di toko-toko, pasar burung, bahkan penjualan yang dilakukan sampai ke internet dan dianggap sebagai cyber crime.
Akses penyelundupan satwa di Provinsi Riau banyak dilakukan melalui jalur laut. Keterbatasan kemampuan petugas dalam melakukan pengawasan membuat pelaku mudah melakukan aksi illegal ini. Selain itu, jalur darat juga begitu terbuka bagi para pelaku dan membuat laju aktivitas ini semakin tidak bisa ditekan. Seperti diperbatasan antara Riau dan Sumatera Utara, Riau-Sumatera Barat dan perbatasan antara Riau dan Jambi.
Sementara itu, pelaku perburuan dan perdagangan satwa bisa siapa saja misalnya petani, pedagang, pegawai, bahkan aparat penegak hukum. Motif yang melatarbelakangi kegiatan illegal ini antara lain tingginya permintaan pasar, persepsi salah dalam menyanyangi satwa liar, prestise atau kebanggaan mengoleksi satwa liar, kebutuhan ekonomi serta lemahnya penegakkan hukum.
Upaya penegakkan hukum yang dilakukan aparat cenderung dirasakan belum ada hasilnya. Dari segi regulasi dirasa sudah cukup maksimal meskipun masih butuh penyempurnaan. Ini terlihat dari adanya komitmen dan peraturan yang sudah dibuat pemerintah. Untuk tingkat lokal juga sudah mulai, misalnya dilakukakan upaya perlindungan terhadap kawasan konservasi dan kawasan lindung. Misalnya Balai Koneservasi dan Sumber Daya Alam (BBKSDA) yang sudah mulai melakukan proteksi terhadap satu wilayah kawasan.
Namun upaya yang dilakukan ini masih bersifat sporadic dan belum optimal. Beberapa masalah hukum memang sudah menjerat kasus kejahatan terhadap satwa, namun frekuensi dan volumenya belum sebanding dengan perburuan dan perdagangan itu sendiri. Hingga saat ini untuk kasus gajah belum ada pelaku yang disangkakan dan divonis pengadilan karena membunuh atau memiliki bagian dari satwa tersebut. Selain itu, petugas yang biasanya melakukan penjagaan sangat minim dan tidak seimbang dengan kawasan yang harus dijaga.
Koordinasi semua pihak sangat penting karena modus perdagangan dan penyelundupan satwa liar kini semakin canggih. Upaya penegakkan hukum secara konsisten, konsekuen, dan kontinue mutlak diperlukan untuk mengurangi ancaman perburuan dan perdagangan satwa liar, sekaligus memberikan efek jera terhadap para pelaku. Untuk itu sinergitas dan koordinasi diantara pemangku kepentingan yaitu pemerintah, badan-badan usaha, LSM dan lembaga-lembaga lainnya, dalam penanganan kasus-kasus tertentu juga harus juga ditingkatan.***