Koordinator Senarai, Ahlul Fadli sedang membuka acara diskusi bentangan kasus yang digelar pada Senin (1/10). Diskusi ini dihadiri oleh Koordinator Wildlife Crime Team (WCT) WWF-Indonesia program Sumatera Tengah, Osmantri, pemateri dari tim monitoring persidangan dari Senarai, Suryadi, serta media, organisasi pemerhati lingkungan dan mahasiswa. Dokumentasi foto: Senarai.
Stripetosecure, Pekanbaru – Senin (1/10) Senarai bersama Jikalahari dan WWF mengadakan diskusi bersama untuk membahas fakta dan temuan persidangan terdakwa M. Ali Honopiah. Ali Honopiah menjadi terdakwa atas kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) hasil perdagangan ilegal satwa dilindungi jenis trenggiling (Manis javanica) dengan nilai transaksi di sepanjang tahun 2017 mencapai Rp. 7,1 miliar.
Dari persidangan, Ali Honopiah diketahui merupakan seorang anggota Polri yang aktif sejak tahun 2003. Ia menggeluti bisnis trenggiling sejak tahun 2006 dan mendapatkan keuntungan hingga Rp. 20 juta tiap bulannya. Dengan keuntungan yang terus bertambah, Ali Honopiah lalu dibantu oleh adiknya, Muhammad Ali. Tahun 2011, Ali Honopiah meyerahkan tampuk bisnis ilegalnya kepada adiknya dan ia pindah tugas ke daerah lain. Meskipun pindah tugas, Ali Honopiah tetap memegang kendali penuh sebagai pengarah dan pemodal atas bisnis terlarang tersebut.
Trenggiling yang dijual oleh Ali Honopiah didapatkan di daerah-daerah sekitar Riau, Sumbar dan Jambi. Muhammad Ali mengaku ia dapat menjemput ratusan trenggiling dari pengepul-pengepul di daerah yang kemudian ia antar ke perbatasan Bengkalis untuk dijemput oleh kapal asing yang telah menunggu di tengah laut. Dari persidangan pula diketahui bahwa ada satu orang bernama Mr.L, toke trenggiling yang berada di Malaysia yang menjadi tujuan pengiriman trenggiling-trenggiling tersebut.
Dari pantauan Wildlife Crime Team (WCT) WWF Riau, sepanjang tahun 2017 aparat penegak hukum provinsi Riau telah mengagalkan empat kasus penyelundupan trenggiling dengan total 355 ekor trenggiling termasuk sisik trenggiling seberat 10,5 kg.
Bisnis Keluarga
Muhammad Ali sendiri adalah salah satu dari dua pelaku yang ditangkap oleh petugas pada akhir Oktober tahun 2017 lalu. Pengadilan Negeri Pekanbaru menjatuhkan pidana kepada Muhammad Ali selama 2 tahun penjara dan denda Rp. 25 juta. Dari pengembangan inilah polisi mengetahui bahwa Ali Honopiah, kakak pelaku, terlibat di jaringan ini.
Selain dibantu oleh adiknya, Ali Honopiah juga dibantu oleh kakak iparnya yang berinisal Z. Ali Honopiah menggunakan rekening Z untuk menyembunyikan uang hasil jual-beli trenggiling. Dalam persidangan, Ali Honopiah mengaku bahwa ia yang menyuruh Z untuk membuka rekening baru atas keperluan dirinya. Ini ia lakukan agar tidak ada yang mengendus usaha trenggilingnya tersebut.
Diskusi bentangan kasus ini digelar menjelang pembacaan sidang tuntutan Ali Honopiah yang akan dilaksanakan beberapa waktu kedepan. Sejak bulan Juli lalu, Senarai bersama Jikalahari dan WWF telah memonitoring proses persidangan kasus pencucian uang Ali Honopiah yang digelar Pengadilan Negeri Pekanbaru. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa proses hukum atas M. Ali Honopiah berjalan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.
Tuntutan Harus Maksimal
Koordinator Senarai, Ahlul Fadly mengatakan bahwa Jaksa Penuntut Umum harus memberikan tuntutan maksimal kepada Ali Honopiah dengan pasal 3 UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Senarai merekomendasikan agar jaksa menuntut Ali, 15 tahun penjara denda Rp 8 miliar dan pidana tambahan mengembalikan uang hasil penjualan trenggiling Rp 7,1 miliar.
“Tuntutan yang maksimal patut diberikan karena, Ali seorang anggota Polri tidak memberikan contoh sebagai penegak hukum yang harus taat dan patuh pada hukum,” kata Ahlul Fadli.
“Harapan kita tuntutannya harus berat, karena Ali Honopiah ini adalah polisi penegak hukum, orang yang patuh dan taat yang hukum. Jangan sampai ringan hukumannya. Satu lagi, penyidik harus menggali lebih jauh lagi orang-orang yang berada di belakang Ali ini. Juga harus melacak si Mr. L ini yang berada di Malaysia. Ini karena sudah perdagangan transnasional.” Tambah Suryadi, tim monitoring persidangan Senarai.
Hal ini senada dengan yang diucapkan oleh Koordinator Wildlife Crime Team (WCT) WWF-Indonesia Program Sumatera Tengah, Osmantri. Ia merasa bahwa kasus perdagangan satwa dengan level seperti ini perlu mendapat tuntutan maksimal yang dapat menimbulkan efek jera.
“Kejahatan perdagangan trenggiling merupakan kejahatan yang sangat serius (extraordinary crime). Mesti jadi perhatian yang baik lagi untuk aparat penegak hukum termasuk partisipasi masyarakat. Karena kalau berbicara tentang tanggung jawab tentang konservasi, ini adalah tanggung jawab semua pihak.” ujar Osmantri.
“Seperti yang hadir saat ini, ada teman-teman dari mapala, media dan NGO, bisa bekerja sebagaimana dengan porsinya masing-masing. Media juga perlu disampaikan terus, karena kalau (kasus satwa) selalu muncul di media, maka akan menjadi perhatian pimpinan-pimpinan lembaga, khususnya lembaga penegak khusus dan pemerintah.”
Upaya Penegakan Hukum Bersinergi
Osmantri berpendapat agar yang masyarakat yang berada di sumber adanya satwa itu, dapat diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam upaya-upaya konservasi satwa.
“Masyarakat ini yang 24 jam berada di sumber yang dekat dengan satwa tersebut. Beda dengan kita sebagai organisasi pemerhati lingkungan dan termasuk pemerintah sendiri yang mungkin tidak bisa 24 jam berada disana. Masyarakat harus diberikan kesempatan yang besar, kemudahan untuk berpartisipasi dalam rangka monitoringnya. Tentu saja kita berharap upaya penegakan hukum ini dapat menjangkau pelaku, mulai dari pelaku lapangan hingga pelaku besarnya. Apakah ia berprofesi sebagai penampung, perantara hingga eksportir dan importirnya. Dan harus ada kerjasama yang baik antara aparat penegak hukum dan civil society.” jelas Osmantri lagi.
Selain pidana hukum dan denda, Osmantri berharap agar pelaku harus mau bertanggung jawab secara ekonomi dan sosial untuk mendukung upaya-upaya konservasi terhadap satwa trenggiling tersebut.
“Apa yang bisa mereka berikan kepada satwa liar itu. Memang, satwa liar yang sudah mati, tidak bisa hidup lagi. Justru dia (pelaku) harus membantu upaya-upaya konservasi satwa itu sendiri. Dari segi sosial, ia harus mendukung kegiatan yang dilakukan masyarakat. Ini yang akan membuat efek jera, bahwa dia tidak hanya diberikan hukuman dan denda, tapi juga tanggung jawab. Menurut kami itu cara-cara yang penting dilakukan.” tutupnya.
M. Ali Honopiah merupakan terdakwa kasus tindak pidana pencucian uang. Pada 5 Juli 2018, Ali Honopiah telah divonis pidana selama 3 tahun penjara dan denda Rp. 100 juta oleh Pengadilan Negeri Pelalawan atas keterlibatannya dalam kasus perdagangan ilegal terhadap satwa dilindungi jenis trenggiling. Kali ini, ia kembali disidangkan atas kasus pencucian uang. Ini merupakan kasus satwa pertama yang melibatkan oknum polisi yang dikembangkan hingga ke tahap pencucian uang.
Trenggiling Satwa Dilindungi
Trenggiling (Manis javanica) merupakan satwa pemalu yang hidup di hutan tropis dan dapat ditemukan di hampir seluruh Indonesia. Mamalia unik pemakan semut dan rayap ini memiliki sisik disekujur tubuhnya. Sayangnya, ia telah menjadi komoditas perdagangan ilegal dengan nilai jual yang tinggi.
Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, segala bentuk tindak kejahatan atas satwa trenggiling dapat diancam dengan hukuman maksimal 5 tahun penjara dan denda Rp. 100 juta.
Di skala internasional, Trenggiling masuk dalam daftar Appendix I untuk satwa yang dilarang untuk diperdagangkan oleh The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna (CITES). Trenggiiling merupakan satwa yang paling banyak diperdagangkan sehingga perburuan secara besar-besaran atas satwa ini dapat mengancam kelangsungan populasi Trenggiling. (fdk)